
Jakarta, 14/02/2023. Berkarya adalah isting manusia untuk bisa eksis di dunia ini. Tidak mungkin sejarah mencatat seseorang tanpa ia meninggalkan karya dari daya budinya. Manusia berbeda dengan mahluk lain karena memiliki budi, pikiran dan rasa yang ditempa dalam jiwa dan rohani yang paripurna. Salah satu karya yang tidak akan lekang ditelan masa adalah buku atau literatur. Tidaklah mudah membuat buku karena harus tersusun dalam narasi yang pas, enak dan mudah dikonsumsi oleh pikiran manusia.
Buku atau literatur yang baik harus memiliki susunan yang apik dengan pembabakan yang tepat baik dalam konteks klimaks atau anti klimaks. Banyak orang mengakui bahwa perlu talenta tersendiri untuk bisa menulis buku atau literatur yang ada. Ada banyak tujuan orang menciptakan karya tidak hanya melulu untuk kemaslahatan umat, tetapi tentu saja untuk menambah kocek atau penghasilan. Jerih payah siang - malam ia menulis, menciptakan karya dalam kegundahan tidur dan istirahatnya karena inspirasi tanpa henti dalam gejolak pikiran dan hatinya.
Tentu semua usaha itu harus diganti dan dibayar dalam penghargaan uang dan penghasilan. Dalam dunia penerbitan upah menulis dihubungkan dengan royalti dalam setiap karya yang harus diganti dengan uang bagi mereka yang menggunakan dan menikmatinya. Hukum ekonomi yang tertulis dalam undang-undang Hak Cipta ini meninggikan posisi penulis dan pembuat karya dalam perlindungan karya abadi hasil otak dan karsa yang mereka miliki.
Tapi apakah pengakuan akan sebuah karya setimpal dengan upah dan royalti yang mereka dapatkan? Pertanyaan ini yang kerap ada dan menggelayuti banyak pikiran orang. Banyak orang kapok menjadi penulis dan pembuat karya karena antara pendapatan dengan usaha tidak setimpal. Bayangkan karena sistem penjualan buku yang tidak jelas dan panjang, alhasil pendapatan untuk laba pembelian tidak jelas. Misalnya saja rantai penjualan terlalu panjang dan tidak ada bantuan pemerintah dalam menyuntik kehidupan penerbitan ikut andil dalam menjaga kelangsungan penerbit kecil.
Alhasil seperti yang sudah-sudah dan menjadi kisah klasik David Lawan Goliath akhirnya penerbit kecil dan indie tergilas dengan penerbit raksasa yang bermodal besar. Alhasil maka yang terjadi dunia perbukuan dan penerbitan tidak berkembang karena dikuasai oleh segelintir orang yang punya uang besar dan tak lain adalah para pemilik modal. Lambat laun penerbitan buku bukan diperuntukkan kaum lemah dan bawah hanya orang-orang kaya saja. Akibatnya jelas dunia perbukuan menjadi gelap dan berjalan di tempat saja (Pris)